Translate

Kamis, 10 Maret 2016

Cerpen: "Semut Kecil Tak Berakal" oleh Endah Kusumaningrum



“Sialan!” umpat Bram. Suara pertengkaran yang berasal dari kamar sebelahnya lagi-lagi membuat Bram kesal dan tidak bisa berkonsentrasi. Suara gelas pecah, gebrakan meja dan bentakan pria sudah beberapa kali terdengar di jam 2 pagi ini. Kali ini Bram tidak bisa tinggal diam lagi. Dia beranjak dari kursi cokelatnya dan berjalan keluar kamar menuju pintu kamar sebelahnya. Begitu dia keluar, angin malam yang berhembus langsung mencoba untuk menusuk tulang Bram. Tapi darahnya yang sudah panas cukup bisa menahan dan menjaga Bram pada suhu tubuhnya. Bram mengetuk pintu kamar sebelahnya itu. Dia sudah tidak berpikir lagi akan etika. Dia mengetuk pintu dengan keras beberapa kali. Tidak adanya jawaban membuat Bram semakin memperkeras ayunan tangannya. Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan keluarlah seorang pria paruh baya bertubuh tinggi besar dengan jenggot memenuhi separuh wajah. Terlihat keringat bercucuran di hampir seluruh bagian tubuhnya. Ekspresi tidak menyenangkan pun menyambut Bram.
            “Tidak usah ikut campur!” pria itu membentak Bram dengan keras dan langsung membanting pintu kamarnya tanpa berkata apapun. Bram yang sudah terlanjur kesal membalas dengan nada yang hampir sama dan volume yang lebih keras. Tidak peduli bahwa umur orang di depannya tadi itu 2 kali lipat lebih dari umurnya.
            “Saya tidak mau ikut campur, dan saya juga tidak tertarik untuk ikut campur. Saya kesini hanya untuk mengingatkan bahwa dunia ini isinya tidak hanya kalian berdua! Terserah kalian mau saling memukul, mencambuk atau saling membunuh sekalipun, tapi jangan mengganggu telinga saya! Lakukanlah dengan diam!” Bram mengatakan dengan ekspresi dingin. Bram tidak peduli ocehannya itu didengar atau tidak. Dia memilih untuk kembali ke kamar dengan wajah penuh emosi. Kejadian itu membuat ia kehilangan gairah untuk melanjutkan tugas kuliah yang sudah menumpuk dan harus dikumpulkan beberapa jam lagi. Persetan dengan pagi ini! Pikirnya.
            Keributan itu membuat waktu berlalu dengan cepat. Jam tiba-tiba saja sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Tidur yang hanya 4 jam itu membuat tubuh Bram sulit untuk digerakkan. Tetapi dia tidak mempunyai pilihan lain. Urusan kuliah menjadi prioritas utama. Dia tidak akan membiarkan tubuh malasnya itu membuat IPK semester akhir ini menjadi kurang dari 3,8.
Sebenarnya kamar kos yang ia tinggali itu cukup nyaman jika dilihat dari luar. Halaman yang luas dengan 10 kamar kos bercat putih berjejer rapi. Dengan ukuran 5x5 m2 lengkap dengan kamar mandi dan harga terjangkau membuat kos ini banyak peminatnya. Yang empunya kos tidak tinggal disitu dan tidak mempermasalahkan siapa yang akan menempati kamar, yang terpenting adalah pembayaran yang tidak terlambat. Rata-rata penghuni kos adalah mahasiswa sehingga kos tampak sepi karena bulan ini adalah libur semester. Alasan Bram untuk tinggal adalah karena dia mengambil semester pendek dan ingin segera menyelesaikan studynya
                                                                        ***
            Angin malam kembali menyeruak. Suara binatang malam sudah terdengar dan menjadi musik langganan mengiringi langkah kaki Bram. Praktikum dan kuliah hari ini sangat membuatnya lelah. Bahkan, cacian dosen yang berkali-kali ia terima karena tugas yang tidak ia selesaikan masih terngiang-ngiang di telinganya.
Jalanan sudah sangat sepi dan gelap. Tetapi Bram terus melangkah menuju kamar kosnya. Ia mempercepat langkah kakinya karena ia sudah tidak sabar lagi untuk bisa beristirahat. Sesampainya di kos, Bram menyalakan lampu dan langsung merebahkan tubuhnya tanpa peduli dengan barang-barang yang masih melekat di tubuh. Bram menghela napas panjang dan memejamkan mata.
            “Aw..” Baru beberapa menit Bram memejamkan mata, semut kecil menggigit kakinya. Rupanya kaki Bram mengganggu semut-semut yang sedang berjalan beriringan di tempat tidur kecil yang ia pakai. Rutinitas Bram memang membuatnya tidak sempat untuk sekadar menyapu kamarnya itu. Sehingga wajar saja jika semut-semut menjadi penghuni kesekian di kamar itu. Bram cukup kesal dengan ulah semut-semut itu, tapi dia tidak melakukan apapun pada semut-semut itu. Bram hanya akan terusik jika apa yang dilakukan orang atau mahluk lain mengusik hidupnya, jika tidak ya masa bodoh. Bram tidak mau berurusan panjang dengan semut kecil itu. Toh, dengan Bram menyingkir, maka semut itu tidak akan mengganggu. Bram agak tertarik dengan aktivitas semut-semut itu. Sehingga  dia memilih untuk bangun dan melihat apa yang sebenarnya dilakukan oleh mereka. Bram melihat semut-semut itu berjalan dengan rapi. Melangkahkan kaki kecil mereka untuk bisa sampai ke sarang dan menumpuk cadangan makanan untuk kelompok mereka. Tidak terlihat ada satu atau dua semut yang keluar dari jalur. Mereka benar-benar berjalan dengan jalur yang sudah dibuat oleh semut yang berada paling depan. Mereka tidak peduli seberapa berat beban yang mereka jinjing. Selama beban itu masih bisa diangkatnya maka tidak masalah untuk mereka. Yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana mereka bisa bertahan hidup bersama-sama.
“Memberontaklah! Wanita cantik akan semakin cantik ketika ia mencoba menjaga harga dirinya dengan menahan rasa sakit sekaligus rasa nikmat yang ia dapatkan!“ Suara pria di sebelah kamarnya itu terdengar lagi.
“Ah, mulai lagi..” Bram menyerengitkan keningnya. Dia memutuskan untuk meninggalkan ruang kamar itu. Dia sangat malas untuk mendengar suara yang sudah hampir seminggu ini ia dengar. Dia mengambil uang secukupnya dan bergegas keluar kamar. Saat Bram sedang mengunci pintu, terdengar suara pegangan pintu dari kamar sebelah itu. Ternyata pria di kamar itu juga keluar dari kamar dengan berpakaian seperti preman. Bram tidak menoleh sama sekali.
“Mau kemana?” Pria itu menegur sambil menyalakan rokok di tangannya dengan santai.
“Maaf, sepertinya kita sudah sepakat untuk tidak saling ikut campur masalah masing-masing.” Bram menjawab dengan tatapan serius.
“Itulah yang saya suka dari kamu.” Pria itu berkata sambil tersenyum. Pria itu kemudian menjatuhkan dan menginjak rokok yang baru saja ia nyalakan di kaki kanannya. Tanpa berkata lagi, ia pergi dan diikuti oleh Bram dengan arah yang berlawanan.
            Bram tidak tahu akan menuntun kakinya ke arah mana. Malam itu jam menunjukkan pukul 23.00. Jalanan sudah sepi dan hanya terlihat bapak-bapak yang sedang meronda di pos keamanan. Perut Bram tiba-tiba keroncongan. Kebetulan sekali dia melihat ada penjual nasi goreng di pinggir jalan. Ia pun memutuskan untuk mengisi perutnya disitu. Belum lama ia duduk, datanglah seorang gadis yang sudah tidak asing lagi untuknya, Nina.
“Bram! Ya ampun, lama ga ketemu! Kamu tu emang jahat ya, masa abis aku nyatain cinta kamu jadi ngehindar dari aku.” Nina memukul kecil lengan Bram. Dia meletakkan kepalanya di bahu Bram tanpa bertanya. Nina memang sudah tertarik dengan Bram sejak pertama bertemu. Kurang lebih 2 tahun lalu.
“Bukan jadi menghindar, tapi selalu menghindar. Bukankah saya selalu mengatakan bahwa saya tidak tertarik dengan kamu?” Bram menjawab dengan nada datar sambil menyingkirkan kepala Nina dengan jari telunjuk tangan kanannya. Nina memang tidak pernah menyerah untuk mendapatkan perhatian dari Bram. Bahkan, dia rela diam-diam membuntuti Bram setiap pulang kuliah untuk sekadar melihat Bram masuk ke kamarnya dan mengucapkan selamat malam dari kejauhan.
“Pak, dibungkus ya jadinya.” Bram sepertinya mengurungkan niatnya untuk menghabiskan nasi goreng yang ia pesan di tempat itu. Tidak lama, nasi goreng Bram sudah jadi. Bram bergegas meninggalkan tempat itu berharap dia tidak lagi harus berurusan dengan Nina. Tapi sayangnya, Nina mengikuti kemana Bram melangkah.
“Bram, keliatannya kamu lagi bad mood. Kenapa? Yah, walaupun muka kamu dari sononya emang selalu begitu, tapi aku bisa ngerasain yang kamu rasain.” Nina berjalan tepat di samping Bram.
“Kenapa orang-orang selalu mencampuri kehidupan orang lain? Bukankah mereka sudah cukup repot dengan kehidupannya sendiri?”
“Karena peduli.”
“Setidaknya tidak hanya ada saya di dunia ini. Biarkan saja seseorang yang butuh kepedulian memintanya dari orang lain yang mau memberi. Ketidakpedulian saya tidak akan berpengaruh banyak.”
“Siapa bilang? Ketidakpedulian kamu itu berpengaruh banyak sama perasaan aku. Ketidakpedulian kamu itu yang bikin aku jatuh cinta sekaligus putus asa.” Nina sedikit melotot ke arah Bram. Suasana hening sejenak. Nina kemudian menghela napas panjang sebelum melanjutkan perkataannya.
”Bram..gimana kalau kepedulian kamu itu satu-satunya harapan untuk seseorang?”
“Tidak mungkin. Kan saya sudah bilang, saya bukan satu-satunya orang di dunia ini. Yang sebenarnya membuat saya tidak peduli adalah orang-orang sering memanfaatkan kepedulian orang lain untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri. Sekali saya peduli, maka mereka akan menuntut kepedulian lain dari saya.”
“Tapi kamu enggak bisa hidup sendiri di dunia ini. Suatu saat kamu juga pasti butuh kepedulian dari orang lain.”
“Ya, suatu saat saya mungkin membutuhkan. Tapi saya yakin bahwa di dunia ini masih ada orang-orang yang memberikan kepeduliannya untuk cari aman, dan hanya sedikit memanfaatkan. Peduli karena rasa takut akan kekuasaan dan jabatan. Makanya saya berusaha keras dengan study saya supaya jika suatu saat saya membutuhkan, mereka tidak akan berani untuk menolak.”
“Bram..” Nina meninggikan suaranya dan menghentikan langkah kaki Bram dengan berdiri dan merentangkan tangannya di depan tubuh Bram.
“Aku tahu study untuk kamu itu sangat penting, aku sangat tahu malah. Tapi inget Bram, kepedulian itu bukan memanfaatkan, tapi jalan untuk menjalin hubungan, dan terkadang juga menyangkut hidup seseorang!” Nina menghela napas dan berlari menjauh dari Bram.
“Aneh.” Bram melanjutkan langkahnya dan menghirukan pembicaraannya dengan Nina tadi.
Sesampainya di kos, Bram melihat halaman kosnya begitu ramai. Banyak sekali orang berkerumun dan beberapa mobil polisi terpakir semrawut. Tidak biasanya seperti itu. Bram sempat bingung, tetapi kemudian dia memutuskan untuk bertanya pada salah satu warga yang ada.
“Itu mas, ada orang gantung diri, mayatnya juga katanya abis dianiaya.”
Bram kaget mendengar penjelasan itu. Dari kamar itu keluarlah pria yang sudah tidak asing lagi baginya. Kali ini dia keluar sambil dipegangi oleh beberapa polisi. Tangannya pun diborgol. Tepat di depan Bram, pria itu menghentikan langkahnya.
“Terima kasih anak muda, ketidakpedulian kamu adalah kebahagiaan saya. Tidak salah saya memilih tempat ini. Terima kasih juga untuk wanitanya. Kalau saja dia tidak selalu datang kesini untuk melihat kamu, saya tidak akan bisa merasakan kebahagiaan ini. Baru kali ini saya menemui wanita yang berusaha keras untuk diam saat diapa-apakan, hanya karena tidak mau mengganggu seseorang yang tinggal di kamar sebelah. Seseorang yang dicintainya tapi tidak mempedulikannya. Sayang sekali wanita itu mengakhiri hidupnya dengan cara yang tidak indah. ” pria itu melontarkan tawa yang sangat keras. Polisi segera menariknya menuju mobil polisi. Bram masih bingung dengan apa yang ia dengar. Sehingga dia memutuskan untuk melihat isi kamar sebelahnya itu.
Bram menaikan kepalanya perlahan dan terperangah untuk beberapa detik. Dia tidak mengedipkan matanya untuk beberapa saat. Hembusan napasnya terasa berat. Dia mengenal wanita yang tergantung itu. Nina.
“Korban adalah orang yang dilaporkan hilang seminggu yang lalu. Korban mengalami lebam di sekujur tubuh, dan retak di bagian kepala.  Perkiraan waktu kematian adalah 23.10 malam. Berdasarkan kondisi yang ada, bisa dipastikan bahwa korban gantung diri karena depresi.“ salah satu polisi menjelaskan kepada polisi lain. Bram mendengar semua yang dikatakan oleh polisi itu. Dia membalikkan tubuhnya dan berjalan keluar kamar. Salah satu polisi mencoba mencegah Bram karena ingin menjadikan Bram sebagai saksi utama, tapi Bram belum siap. Dia memilih untuk pergi ke kamarnya dan menutup pintu. Dia tidak peduli dengan suara ketukan pintu berkali-kali yang ditujukan untuknya. Dia berjalan dengan lunglai dan duduk di tempat tidurnya. Seketika beribu pikiran muncul di kepalanya. Diantara pikiran-pikiran itu, ada satu yang menonjol. ”Lalu siapa yang berbicara denganku di jalan tadi?”
Ruangan kamarnya terasa sunyi untuk Bram. Ia masih mencoba menelaah apa yang sebenarnya terjadi. Tidak terlihat rasa penyesalan di wajahnya. Tapi juga tidak bisa disebut sebagai wajah yang tenang setelah menghadapi semuanya. Sementara itu, di sisi lain kamarnya, sekelompok semut kecil tak berakal masih saling bekerja sama untuk menyambung hidup mereka. Tapi ia? Entah.

             
           

Cerpen: "Seribu Rahasia" oleh Endah Kusumaningrum





Aroma pengap di ruangan berukuran 4x4 meter itu sangat terasa. Debu halus seakan memaksa masuk lubang hidung dan membuat napas terasa sesak. Ditambah lagi kepulan asap rokok yang memenuhi ruangan. Ukuran ventilasi yang ada bahkan tidak cukup untuk sekadar mempersilahkan udara dan sinar matahari keluar dan masuk. Sehingga apa yang ada di ruangan hanya bisa terlihat samar-samar. Satu-satunya yang dapat membantu pandangan hanyalah sebuah lampu gantung berwarna kuning berukuran 5 watt. Yang tampak hanya sebuah meja kotak dengan dua kursi berhadapan. Di atas salah satu kursi itu nampaklah seorang wanita kurus menggunakan daster lusuh, rambut acak-acakan serta wajah yang kumal. Sesekali wanita itu menghisap rokok yang ada di tangan kanannya.
Tak lama, masuklah seorang lelaki berumur sekitar 30 tahun berpakaian rapi lengkap dengan jas hitam dan sepatu fantofel. Tanpa basa-basi lelaki itu langsung duduk menghadap wanita. Pandangannya menatap tajam si wanita. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Wanita kemudian berdiri dan sedikit membungkukkan badannya condong kedepan mendekati wajah lelaki. Wanita itu melontarkan senyuman tipis dan menghembuskan asap tebal dari mulutnya seperti sengaja mengarahkan ke wajah lelaki.
“Anda tak sopan membiarkan wanita menunggu.” Wanita kembali ke posisi duduknya. Lelaki sedikit terbatuk tetapi matanya terus dan malah semakin menatap tajam si wanita. Wanita tertawa dengan sedikit keras.
“Maaf-maaf, Saya lupa kalau Anda sangat membenci asap rokok.” wanita kemudian mematikan rokoknya di asbak yang ada di atas meja.
“Oh iya, maaf juga untuk pertemuan kita bulan lalu. Saya sangat tidak enak karena saya tidak bisa mengontrol emosi. Saya kira Anda kapok menemui saya.“
“Kedatangan Anda itu bikin candu, jadi kalau Anda tidak datang itu hidup saya kok seperti ada yang kurang gitu…” wanita tertawa dengan keras. “ Kita ini seperti sudah ada… chemistry.. ya orang-orang menyebutnya chemistry.“ kembali wanita tertawa dengan lebih keras. Tawanya hanya berlangsung sekitar 5 detik dan wanita langsung diam tanpa ekspresi. Kemudian wanita nerocos dengan nada dan volume yang semakin meninggi.
“Tapi kedatangan Anda membuat saya muak karena saya harus menggali lagi ingatan yang bahkan saya sudah tidak ingin mengingatnya dan apalagi saya harus menceritakannya pada Anda, orang  yang selalu datang setiap bulannya dan bahkan sampai sekarang saya tidak tahu Anda siapa…” wanita menggebrak meja dengan kedua tangannya.”Ah, masa lalu!” Lelaki masih diam.
 “Jangan menatap saya seperti itu..” wanita merengek seperti anak kecil. Dia memalingkan wajahnya ke arah kiri. Wanita menggoyangkan badannya dengan perlahan kemudian menatap sekeliling menghindari adu pandang dengan lelaki.
Wanita memulai ceritanya kembali. Kali ini terlihat air matanya sudah menggantung di kedua bola matanya. “Saya mencintainya.” Ruangan itu hening sejenak. Wanita menghela napas pendek dan melanjutkan perkataannya.”Tapi saya tidak bisa menanggung semuanya.” seketika air matanya jatuh membasahi pipi. Dengan cepat, wanita menghapusnya. Wanita menghela napas lagi, kali ini helaan napasnya lebih panjang dan berat. Dia seperti ingin mengeluarkan sedikit beban yang ada di hati dan pikirannya. Wanita menunduk. Tiba-tiba dia mulai mengangkat kepalanya dengan perlahan sambil mengeluarkan tawa yang keras dengan nada yang semakin tinggi. Dan dengan lantang menyombongkan dirinya.
“Anda tahu tidak? Saat itu saya ditugaskan untuk menulis sebuah berita hebat! Bahkan dalam majalah itu, tulisan saya menjadi tulisan utama! Saya masih ingat! Majalah itu bersampul merah hitam dengan sebuah foto wanita dan laki-laki yang begitu mesra. Lelaki berjas hitam dan wanita bergaun putih. Judulnya itu Pernikahan Pengusaha Muda yang Istimewa! Hahaha.. Bahkan saya masih ingat dengan nomor majalah itu, 364/X/Juli 2012. Ya, itu! Saya tidak akan pernah lupa. Bagaimana tidak? Karena sayalah pengantin wanita itu! Lucu ya? Memberitakan diri sendiri!” wanita kembali tertawa dengan suara yang keras. Wanita kemudian memposisikan tangan dan badannya seperti hendak memainkan sebuah biola. Dengan ekspresi yang meyakinkan dan berseri-seri, wanita berakting seperti sedang memainkan sebuah lagu pernikahan.
“Teng, teng, teng teng, teng, teng, teng teng…. Betapa indahnya dekorasi pada hari itu. Dengan bunga mawar putih dimana-mana, baju pengantin yang dibuat oleh desainer terkenal membalut tubuh saya, tamu-tamu penting yang datang… oh ya, ngomong-ngomong soal tamu penting, saat itu begitu banyak pejabat-pejabat negeri ini yang datang, bahkan presiden pun datang. Tidak akan ada yang berani untuk tidak menghadiri pernikahan pengusaha nomor satu di negeri ini. Maklumlah, siapa coba yang tidak butuh sokongan dana?” Wanita tersenyum sambil menutup bibir keringnya dengan tangan kanan layaknya seorang wanita anggun saat tersenyum. Tetapi kemudian wanita itu mengambil pecahan kaca yang ada di meja dengan cepatnya dan menggoreskan pada jari telunjuknya sampai meneteskan banyak darah. Jari itu kemudian digunakan untuk menunjuk lelaki. Darah pun berceceran diatas meja. Dengan menggebu-gebu wanita melanjutkan ceritanya.
“Tetapi tamu-tamu penting itulah yang membuat semuanya berantakan! Merekalah yang secara tidak langsung memaksa suami saya untuk menjadi sempurna.” wanita kemudian menuliskan huruf demi huruf di meja menggunakan darah yang keluar dari jarinya. Wanita itu menuliskan kata “Munafik”.
“Saya heran dengan manusia di dunia ini. Dengan mudahnya mereka menanggalkan jati dirinya demi sebuah pencitraan, kesuksesan, dan ingin dianggap sebagai seorang malaikat di mata orang-orang! Saya sebenarnya juga sudah sangat bosan karena harus menulis artikel-artikel setiap hari yang isinya hanya kemunafikan dan kemunafikan! Orang-orang munafik itu bahkan rela membayar saya dengan uang puluhan juta demi menjaga wibawanya, busuk! Dengan lantang saya bersumpah! SAYA BENCI ORANG MUNAFIK!” wanita mengepalkan tangannya ke arah langit.
“Jangan berkata apa-apa. Ssttt.. Anda pasti berkata dalam hati, lah, bukannya Anda juga munafik? Menuliskan artikel sampah demi segepok uang?” tangan wanita berganti memukul dada dengan penuh penyesalan. “Ya, saya memang munafik dan saya baru menyadarinya saat lelaki itu hadir di kehidupan saya. Di depan siapapun, dia tetaplah dia, dengan kewibawaannya, kepeduliaannya, kedisiplinannya, dan kesempurnaan lainnya. Sampai-sampai saya merasa berdosa mengerjakan pekerjaan kotor itu dan saya memutuskan untuk meninggalkannya. Tapi bodohnya saya, saya justru membantu lelaki itu untuk menjadi munafik! Bodoh, bodoh, bodoh!” wanita memukul kepalanya beberapa kali kemudian memegang menggunakan kedua tangannya. Wanita berteriak sangat keras dan berdiri dengan marah yang meluap-luap seperti orang yang kesetanan. Segala sesuatu yang ada di atas meja dia lemparkan satu persatu.
“Saya bahkan diam seperti Anda saat ini saya tahu kemunafikan suami saya, karena saya ingin menjaga nama baik suami saya. Tapi diam itu justru seperti bom yang meledakkan diri saya karena saya harus menanggung semua seorang diri. Saya harus kehilangan jabang bayi yang ada di rahim saya akibat saya yang terlalu stres memikirkan semuanya. Saya kira pernikahan suci itu terjadi karena kita yang saling mencintai. Tapi apa? Dia menikahi saya hanya sebagai tameng untuk melindungi dirinya, bahkan malam itu, 15 September 2012, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, mereka malah saling mencumbu seperti hewan yang sangat bernafsu! Lelaki brengsek! Setan! Biadab! Ahh !!!” wanita berteriak lagi dengan sangat keras. Dia membanting meja di depannya ke arah kiri. Wanita itu melangkahkan kaki dengan perlahan mendekati lelaki sambil mengacungkan serpihan kaca yang baru saja diambilnya. Lelaki masih duduk di kursinya dengan wajah tanpa takut. Lelaki itu tahu bahwa pasung besi yang melilit kaki si wanita tidak akan memberi wanita kesempatan untuk melukai dirinya. Rantai itu membuat wanita meraung-raung karena tidak bisa menjangkau lelaki. Lelaki kemudian berdiri dan keluar dari ruangan itu tanpa sepatah katapun. Meninggalkan raungan wanita dan membiarkannya terkurung di ruangan itu.
***
Pintu baru saja tertutup. Ruangan menjadi hening seperti semula. Seketika tubuhku lemas. Aku menjatuhkan diri di lantai. Aku menangis dalam diam. Air mata terus mengucur deras dari mataku. Aku munafik. Tapi aku tidak lagi bisa hidup dengannya dengan segala kemunafikan yang dimilikinya. Aku juga sudah terlalu sakit untuk menerima kenyataan bahwa sampai sekarang kedatangan dia kesini hanya untuk mengecek apakah aku masih gila sehingga aku tidak akan membeberkan rahasia terbesarnya kepada semua. Aku masih mencintainya walaupun aku tahu aku bukanlah orang yang dicintainya. Tapi setidaknya, dengan berpura-pura gila, aku bisa bercerita tanpa rahasia. Dan aku bisa memberinya sedikit kebahagiaan dengan diam dan gilaku sehingga dia bisa hidup dengan tenang tanpa kekhawatiran akan kehilangan kewibawaan.
***
Kutarik napas panjang dan keluar ruangan itu dengan beribu penyesalan. Istriku, Maria gila dan semua salahku. Aku bahkan tidak mengetahui bahwa di dalam rahim istriku pernah ada seorang bayi. Setelah kesekian kalinya aku kesini baru kali ini Maria menceritakannya. Aku merasa tidak becus sebagai seorang laki-laki. Aku terlalu brengsek karena menikahi wanita sesempurna Maria dan hanya menggunakannya sebagai kedok untuk menjaga martabatku. Dan tak seharusnya malam itu aku bertemu dan menuruti perkataan Zidane. Bercumbu untuk yang terakhir kali sebagai tanda perpisahan kami. Hubungan terlarang antar laki-laki yang pernah kujalani dengan Zidane selama bertahun-tahun membuatku buta dan tidak menjalani takdirku sebagai seorang laki-laki. Maria lah yang kemudian merubah semuanya. Seharusnya yang kulakukan waktu itu hanyalah, menghampiri Maria dan mengatakan bahwa aku mulai mencintainya. Kini tak banyak yang bisa kulakukan untuk menebus dosa. Satu-satunya cara adalah dengan datang ke ruangan itu untuk melihat keadaannya dan memastikan bahwa dia masih baik-baik saja.