“Sialan!”
umpat Bram. Suara pertengkaran yang berasal dari kamar sebelahnya lagi-lagi membuat
Bram kesal dan tidak bisa berkonsentrasi. Suara gelas pecah, gebrakan meja dan
bentakan pria sudah beberapa kali terdengar di jam 2 pagi ini. Kali ini Bram
tidak bisa tinggal diam lagi. Dia beranjak dari kursi cokelatnya dan berjalan
keluar kamar menuju pintu kamar sebelahnya. Begitu dia keluar, angin malam yang
berhembus langsung mencoba untuk menusuk tulang Bram. Tapi darahnya yang sudah panas
cukup bisa menahan dan menjaga Bram pada suhu tubuhnya. Bram mengetuk pintu
kamar sebelahnya itu. Dia sudah tidak berpikir lagi akan etika. Dia mengetuk
pintu dengan keras beberapa kali. Tidak adanya jawaban membuat Bram semakin memperkeras
ayunan tangannya. Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan keluarlah seorang pria paruh
baya bertubuh tinggi besar dengan jenggot memenuhi separuh wajah. Terlihat
keringat bercucuran di hampir seluruh bagian tubuhnya. Ekspresi tidak
menyenangkan pun menyambut Bram.
“Tidak usah ikut campur!” pria itu
membentak Bram dengan keras dan langsung membanting pintu kamarnya tanpa
berkata apapun. Bram yang sudah terlanjur kesal membalas dengan nada yang
hampir sama dan volume yang lebih keras. Tidak peduli bahwa umur orang di
depannya tadi itu 2 kali lipat lebih dari umurnya.
“Saya tidak mau ikut campur, dan
saya juga tidak tertarik untuk ikut campur. Saya kesini hanya untuk
mengingatkan bahwa dunia ini isinya tidak hanya kalian berdua! Terserah kalian
mau saling memukul, mencambuk atau saling membunuh sekalipun, tapi jangan
mengganggu telinga saya! Lakukanlah dengan diam!” Bram mengatakan dengan ekspresi
dingin. Bram tidak peduli ocehannya itu didengar atau tidak. Dia memilih untuk kembali
ke kamar dengan wajah penuh emosi. Kejadian itu membuat ia kehilangan gairah
untuk melanjutkan tugas kuliah yang sudah menumpuk dan harus dikumpulkan
beberapa jam lagi. Persetan dengan pagi ini! Pikirnya.
Keributan itu membuat waktu berlalu
dengan cepat. Jam tiba-tiba saja sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Tidur yang
hanya 4 jam itu membuat tubuh Bram sulit untuk digerakkan. Tetapi dia tidak
mempunyai pilihan lain. Urusan kuliah menjadi prioritas utama. Dia tidak akan
membiarkan tubuh malasnya itu membuat IPK semester akhir ini menjadi kurang
dari 3,8.
Sebenarnya
kamar kos yang ia tinggali itu cukup nyaman jika dilihat dari luar. Halaman yang
luas dengan 10 kamar kos bercat putih berjejer rapi. Dengan ukuran 5x5 m2
lengkap dengan kamar mandi dan harga terjangkau membuat kos ini banyak
peminatnya. Yang empunya kos tidak tinggal disitu dan tidak mempermasalahkan
siapa yang akan menempati kamar, yang terpenting adalah pembayaran yang tidak
terlambat. Rata-rata penghuni kos adalah mahasiswa sehingga kos tampak sepi
karena bulan ini adalah libur semester. Alasan Bram untuk tinggal adalah karena
dia mengambil semester pendek dan ingin segera menyelesaikan studynya
***
Angin malam kembali menyeruak. Suara
binatang malam sudah terdengar dan menjadi musik langganan mengiringi langkah
kaki Bram. Praktikum dan kuliah hari ini sangat membuatnya lelah. Bahkan,
cacian dosen yang berkali-kali ia terima karena tugas yang tidak ia selesaikan
masih terngiang-ngiang di telinganya.
Jalanan
sudah sangat sepi dan gelap. Tetapi Bram terus melangkah menuju kamar kosnya.
Ia mempercepat langkah kakinya karena ia sudah tidak sabar lagi untuk bisa
beristirahat. Sesampainya di kos, Bram menyalakan lampu dan langsung merebahkan
tubuhnya tanpa peduli dengan barang-barang yang masih melekat di tubuh. Bram
menghela napas panjang dan memejamkan mata.
“Aw..” Baru beberapa menit Bram
memejamkan mata, semut kecil menggigit kakinya. Rupanya kaki Bram mengganggu
semut-semut yang sedang berjalan beriringan di tempat tidur kecil yang ia pakai.
Rutinitas Bram memang membuatnya tidak sempat untuk sekadar menyapu kamarnya
itu. Sehingga wajar saja jika semut-semut menjadi penghuni kesekian di kamar
itu. Bram cukup kesal dengan ulah semut-semut itu, tapi dia tidak melakukan
apapun pada semut-semut itu. Bram hanya akan terusik jika apa yang dilakukan
orang atau mahluk lain mengusik hidupnya, jika tidak ya masa bodoh. Bram tidak
mau berurusan panjang dengan semut kecil itu. Toh, dengan Bram menyingkir, maka
semut itu tidak akan mengganggu. Bram agak tertarik dengan aktivitas
semut-semut itu. Sehingga dia memilih
untuk bangun dan melihat apa yang sebenarnya dilakukan oleh mereka. Bram
melihat semut-semut itu berjalan dengan rapi. Melangkahkan kaki kecil mereka
untuk bisa sampai ke sarang dan menumpuk cadangan makanan untuk kelompok
mereka. Tidak terlihat ada satu atau dua semut yang keluar dari jalur. Mereka
benar-benar berjalan dengan jalur yang sudah dibuat oleh semut yang berada
paling depan. Mereka tidak peduli seberapa berat beban yang mereka jinjing. Selama
beban itu masih bisa diangkatnya maka tidak masalah untuk mereka. Yang mereka
pikirkan hanyalah bagaimana mereka bisa bertahan hidup bersama-sama.
“Memberontaklah!
Wanita cantik akan semakin cantik ketika ia mencoba menjaga harga dirinya
dengan menahan rasa sakit sekaligus rasa nikmat yang ia dapatkan!“ Suara pria
di sebelah kamarnya itu terdengar lagi.
“Ah,
mulai lagi..” Bram menyerengitkan keningnya. Dia memutuskan untuk meninggalkan
ruang kamar itu. Dia sangat malas untuk mendengar suara yang sudah hampir
seminggu ini ia dengar. Dia mengambil uang secukupnya dan bergegas keluar
kamar. Saat Bram sedang mengunci pintu, terdengar suara pegangan pintu dari
kamar sebelah itu. Ternyata pria di kamar itu juga keluar dari kamar dengan
berpakaian seperti preman. Bram tidak menoleh sama sekali.
“Mau
kemana?” Pria itu menegur sambil menyalakan rokok di tangannya dengan santai.
“Maaf,
sepertinya kita sudah sepakat untuk tidak saling ikut campur masalah
masing-masing.” Bram menjawab dengan tatapan serius.
“Itulah
yang saya suka dari kamu.” Pria itu berkata sambil tersenyum. Pria itu kemudian
menjatuhkan dan menginjak rokok yang baru saja ia nyalakan di kaki kanannya.
Tanpa berkata lagi, ia pergi dan diikuti oleh Bram dengan arah yang berlawanan.
Bram tidak tahu akan menuntun
kakinya ke arah mana. Malam itu jam menunjukkan pukul 23.00. Jalanan sudah sepi
dan hanya terlihat bapak-bapak yang sedang meronda di pos keamanan. Perut Bram tiba-tiba
keroncongan. Kebetulan sekali dia melihat ada penjual nasi goreng di pinggir
jalan. Ia pun memutuskan untuk mengisi perutnya disitu. Belum lama ia duduk,
datanglah seorang gadis yang sudah tidak asing lagi untuknya, Nina.
“Bram!
Ya ampun, lama ga ketemu! Kamu tu emang jahat ya, masa abis aku nyatain cinta
kamu jadi ngehindar dari aku.” Nina memukul kecil lengan Bram. Dia meletakkan
kepalanya di bahu Bram tanpa bertanya. Nina memang sudah tertarik dengan Bram
sejak pertama bertemu. Kurang lebih 2 tahun lalu.
“Bukan
jadi menghindar, tapi selalu menghindar. Bukankah saya selalu mengatakan bahwa
saya tidak tertarik dengan kamu?” Bram menjawab dengan nada datar sambil menyingkirkan
kepala Nina dengan jari telunjuk tangan kanannya. Nina memang tidak pernah
menyerah untuk mendapatkan perhatian dari Bram. Bahkan, dia rela diam-diam membuntuti
Bram setiap pulang kuliah untuk sekadar melihat Bram masuk ke kamarnya dan mengucapkan
selamat malam dari kejauhan.
“Pak,
dibungkus ya jadinya.” Bram sepertinya mengurungkan niatnya untuk menghabiskan
nasi goreng yang ia pesan di tempat itu. Tidak lama, nasi goreng Bram sudah
jadi. Bram bergegas meninggalkan tempat itu berharap dia tidak lagi harus berurusan
dengan Nina. Tapi sayangnya, Nina mengikuti kemana Bram melangkah.
“Bram,
keliatannya kamu lagi bad mood.
Kenapa? Yah, walaupun muka kamu dari sononya emang selalu begitu, tapi aku bisa
ngerasain yang kamu rasain.” Nina berjalan tepat di samping Bram.
“Kenapa
orang-orang selalu mencampuri kehidupan orang lain? Bukankah mereka sudah cukup
repot dengan kehidupannya sendiri?”
“Karena
peduli.”
“Setidaknya
tidak hanya ada saya di dunia ini. Biarkan saja seseorang yang butuh kepedulian
memintanya dari orang lain yang mau memberi. Ketidakpedulian saya tidak akan
berpengaruh banyak.”
“Siapa
bilang? Ketidakpedulian kamu itu berpengaruh banyak sama perasaan aku.
Ketidakpedulian kamu itu yang bikin aku jatuh cinta sekaligus putus asa.” Nina
sedikit melotot ke arah Bram. Suasana hening sejenak. Nina kemudian menghela
napas panjang sebelum melanjutkan perkataannya.
”Bram..gimana
kalau kepedulian kamu itu satu-satunya harapan untuk seseorang?”
“Tidak
mungkin. Kan saya sudah bilang, saya bukan satu-satunya orang di dunia ini.
Yang sebenarnya membuat saya tidak peduli adalah orang-orang sering
memanfaatkan kepedulian orang lain untuk kepentingan dan keuntungan diri
sendiri. Sekali saya peduli, maka mereka akan menuntut kepedulian lain dari
saya.”
“Tapi
kamu enggak bisa hidup sendiri di dunia ini. Suatu saat kamu juga pasti butuh
kepedulian dari orang lain.”
“Ya,
suatu saat saya mungkin membutuhkan. Tapi saya yakin bahwa di dunia ini masih
ada orang-orang yang memberikan kepeduliannya untuk cari aman, dan hanya
sedikit memanfaatkan. Peduli karena rasa takut akan kekuasaan dan jabatan.
Makanya saya berusaha keras dengan study
saya supaya jika suatu saat saya membutuhkan, mereka tidak akan berani untuk
menolak.”
“Bram..”
Nina meninggikan suaranya dan menghentikan langkah kaki Bram dengan berdiri dan
merentangkan tangannya di depan tubuh Bram.
“Aku
tahu study untuk kamu itu sangat
penting, aku sangat tahu malah. Tapi inget Bram, kepedulian itu bukan memanfaatkan,
tapi jalan untuk menjalin hubungan, dan terkadang juga menyangkut hidup seseorang!”
Nina menghela napas dan berlari menjauh dari Bram.
“Aneh.”
Bram melanjutkan langkahnya dan menghirukan pembicaraannya dengan Nina tadi.
Sesampainya
di kos, Bram melihat halaman kosnya begitu ramai. Banyak sekali orang
berkerumun dan beberapa mobil polisi terpakir semrawut. Tidak biasanya seperti
itu. Bram sempat bingung, tetapi kemudian dia memutuskan untuk bertanya pada
salah satu warga yang ada.
“Itu
mas, ada orang gantung diri, mayatnya juga katanya abis dianiaya.”
Bram kaget
mendengar penjelasan itu. Dari kamar itu keluarlah pria yang sudah tidak asing
lagi baginya. Kali ini dia keluar sambil dipegangi oleh beberapa polisi.
Tangannya pun diborgol. Tepat di depan Bram, pria itu menghentikan langkahnya.
“Terima
kasih anak muda, ketidakpedulian kamu adalah kebahagiaan saya. Tidak salah saya
memilih tempat ini. Terima kasih juga untuk wanitanya. Kalau saja dia tidak selalu
datang kesini untuk melihat kamu, saya tidak akan bisa merasakan kebahagiaan
ini. Baru kali ini saya menemui wanita yang berusaha keras untuk diam saat
diapa-apakan, hanya karena tidak mau mengganggu seseorang yang tinggal di kamar
sebelah. Seseorang yang dicintainya tapi tidak mempedulikannya. Sayang sekali
wanita itu mengakhiri hidupnya dengan cara yang tidak indah. ” pria itu
melontarkan tawa yang sangat keras. Polisi segera menariknya menuju mobil
polisi. Bram masih bingung dengan apa yang ia dengar. Sehingga dia memutuskan
untuk melihat isi kamar sebelahnya itu.
Bram
menaikan kepalanya perlahan dan terperangah untuk beberapa detik. Dia tidak
mengedipkan matanya untuk beberapa saat. Hembusan napasnya terasa berat. Dia
mengenal wanita yang tergantung itu. Nina.
“Korban
adalah orang yang dilaporkan hilang seminggu yang lalu. Korban mengalami lebam
di sekujur tubuh, dan retak di bagian kepala.
Perkiraan waktu kematian adalah 23.10 malam. Berdasarkan kondisi yang
ada, bisa dipastikan bahwa korban gantung diri karena depresi.“ salah satu
polisi menjelaskan kepada polisi lain. Bram mendengar semua yang dikatakan oleh
polisi itu. Dia membalikkan tubuhnya dan berjalan keluar kamar. Salah satu
polisi mencoba mencegah Bram karena ingin menjadikan Bram sebagai saksi utama,
tapi Bram belum siap. Dia memilih untuk pergi ke kamarnya dan menutup pintu. Dia
tidak peduli dengan suara ketukan pintu berkali-kali yang ditujukan untuknya. Dia
berjalan dengan lunglai dan duduk di tempat tidurnya. Seketika beribu pikiran
muncul di kepalanya. Diantara pikiran-pikiran itu, ada satu yang menonjol.
”Lalu siapa yang berbicara denganku di jalan tadi?”
Ruangan
kamarnya terasa sunyi untuk Bram. Ia masih mencoba menelaah apa yang sebenarnya
terjadi. Tidak terlihat rasa penyesalan di wajahnya. Tapi juga tidak bisa
disebut sebagai wajah yang tenang setelah menghadapi semuanya. Sementara itu,
di sisi lain kamarnya, sekelompok semut kecil tak berakal masih saling bekerja
sama untuk menyambung hidup mereka. Tapi ia? Entah.